Tak Punya Ilmu Jangan Sembarangan dalam Menafsirkan Al Quran

Tak Punya Ilmu Jangan Sembarangan dalam Menafsirkan Al Quran – Beberapa waktu yang lalu Indonesia khususnya DKI Jakarta dihebohkan oleh peristiwa Pilkada. Pilkada yang paling disorot oleh media adalah pilkada DKI. Pilkada DKI ini banyak sekali terjadi momen dramatis. Ya mungkin menurut orang lain ini biasa saja namun bagi saya ini cukup dramatis.

Dalam pilkada DKI kita dihebohkan juga oleh ucapan seorang Gubernur DKI Jakarta yang sedang menjabat dan nantinya akan maju pada Pilkada DKI. Dalam pidatonya ada beberapa kalimat yang dianggap sebagai penistaan agama. Ucapannya tersebut menyinggung salah satu surat di dalam al-quran kitab suci umat Islam yang membahas mengenai larangan memilih pemimpin non-muslim atau kafir dalam Islam.

Tak Punya Ilmu Jangan Sembarangan dalam Menafsirkan Al Quran

Dalam surah Al-Maidah 51 disebutkan bahwa ada kata “aulia” dalam banyak tafsir aulia ini memiliki beberapa makna ada yang artinya teman setia, pelindung, dan juga pemimpin. Dari surah Al-Maidah ayat 51 ini muncullah banyak penafsiran yang menyebutkan ini itu dan lain sebagainya.

Tentunya sebagai orang Islam wajib hukumnya untuk memilih pemimpin sesuai dengan tuntunan yang diajarkan dalam Islam. Karena Islam adalah tuntunan hidup bagi seorang muslim. Wajib hukumnya seorang muslim berpegang teguh kepada al-quran.

Namun ada sebagian orang yang memilih-milih dalam menafsirkan Alqur’an, padahal tidak ada orang yang berhak untuk menafsirkan Al Quran kecuali orang-orang yang sudah memiliki ilmu. Jadi tidak boleh sembarangan dalam menafsirkan Al Quran meskipun sebenarnya tafsir yang kita berikan benar.

Baca juga:  Pemerintah Daerah dan Pusat Perlu Meningkatkan Pemasaran Pariwisata Melalui Sosial Media

Untuk itu dalam menafsirkan Al Quran harus orang-orang yang berilmu. Beberapa kitab tafsir yang sering dipakai oleh umat Islam adalah kitab Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al Jalalain. Sehingga kebanyakan ulama Islam banyak yang merujuk dari kitab tafsir ini.

Dalam Islam, orang Islam sendiri tidak boleh sembarangan menafsirkan Al Quran. Namun di luar sana ada pihak yang tafsirkan Al Qur’an menurut pemikirannya sendiri tanpa ada dasar ilmu tafsir yang dimilikinya. Yang lebih berbahaya lagi ada oknum non muslim yang sesuka hatinya menafsirkan Al Quran, padahal itu tidak boleh. Yang Islam saja dilarang menafsirkan Al Quran sembarangan apalagi orang non muslim yang sama sekali tidak mengetahui tentang Alquran.

Mau Buat Website Sesuai Budget?

Dalam beberapa pengajian yang saya ikuti untuk menafsirkan Alqur’an biasanya para ulama menggunakan banyak referensi. Tidak cukup hanya menggunakan logika berpikir dan dan membaca terjemahan saja. Harus ditambah lagi dengan ash babun nuzul atau sebab turunnya ayat tertentu dalam Alquran. Kemudian ditambah lagi dengan hadits, perkataan sahabat, perkataan tabi’in dan kesepakatan para ulama di seluruh dunia mengenai ayat tertentu di dalam al-quran.

Jadi untuk menafsirkan Al Quran tidak cukup hanya mengandalkan pemahaman logika berpikir dan membaca terjemahan. Perlu ditambah dengan referensi yang lain agar Al Quran bisa ditafsirkan dengan benar.

Untuk teman-teman yang masih belum paham ada baiknya belajar terlebih dahulu. Perbanyak ilmu agama, perbanyak belajar agama, perbanyak bergaul dengan orang-orang yang dekat dengan agama, khususnya mereka yang beragama Islam. Sekarang ini terlalu banyak orang-orang yang merasa lebih pintar dan lebih pandai dari pada ulama padahal mereka sendiri tidak paham dengan agama.

Baca juga:  Pembelian bahan bakar pertamax dan pertalite meningkat, apakah masyarakat makin sejahtera?

Para ulama dalam menetapkan suatu fatwa, ada banyak referensi dan kitab yang mereka baca, sedangkan kita kitab apakah yang sudah kita baca?! Tanyakan ke diri kita masing-masing apakah kita sudah punya ilmu agama seperti mereka atau belum.

Sholatnya masih tinggal-tinggal. Sholat Jumatnya masih bolong-bolong. Surah pendek banyak yang lupa dan mungkin tidak tahu hafal. Jangankan menghafal Al Quran, membaca Al Quran masih terbata-bata. Hadits juga banyak yang tidak tahu padahal hadits itu jumlahnya ribuan.

Dengan kapasitas ilmu yang masih sedikit, apakah layak kita merasa lebih pandai? Hati-hati jika kita memiliki sifat yang seperti ini akan menyebabkan hati akan semakin keras karena sifat sombong, tinggi hati, bangga diri, merasa berilmu dan memandang remeh orang lain.

Perumpamaannya seperti ini, ada seorang tukang bengkel motor yang sudah berpengalaman dan bertahun-tahun memperbaiki motor. Sangking pengalamannya hanya dengan hidupkan mesin sepeda motor langsung paham, bagian mana yang harus diperbaiki.

Namun tiba-tiba ada seorang anak SD yang baru belajar naik sepeda motor, kemudian sepeda motornya rusak. Ketika sampai dibengkel si tukang bengkel kemudian mencoba menghidupkan motor. Setelah bersusah payah akhirnya berhasil. Si tukang bengkel langsung paham bahwa yang rusak misalnya adalah businya. Si tukang bengkel mengatakan bahwa sepeda motor miliknya businya agak kurang bagus dik, perlu diganti dengan yang baru.

Baca juga:  Lesehan di Malioboro Ada yang Ditutup Paksa? Hmm Sejak Dahulu Lesehan Disini Memang Mahal

Namun si anak SD yang baru belajar naik sepeda motor mengatakan bahwa yang rusak adalah filter udaranya. Si anak SD yang baru belajar naik motor tetap bersikeras bahwa yang rusak adalah filter udaranya. Padahal yang rusak adalah businya.

Kira-kira begitulah perumpamaan orang yang sudah berpengalaman dan yang tidak berpengalaman. Terlihat dengan jelas juga mana yang pandai dan mana yang bodoh. Begitu juga dalam hal menafsirkan Al Quran surah Al Maidah ayat 51 dan Al Quran surah yang lain-lainnya.

Sama halnya dengan saya yang tidak tau apa-apa, jadi saya tidak boleh menafsirkan Al-Quran sembarangan. Saya juga menyadari bahwa saya tidak memiliki kemampuan untuk itu.

(Lu/S)

Tinggalkan komentar